Inspirasi & Motivasi

Spenggal Cerita Prabowo Subianto Dari Medan Tempur

Spenggal Cerita Prabowo Dari Medan Tempur

“Tunduk Mas, Jangan bergerak dulu!” suara lantang Sersan La
Ode Ilham terdengar.

“Tidak, ini pertempuran Ilham! Bentak Prabowo.
“Jangan Mas, Saya dulu yang  mati! Balas La Ode
“Tetap konsent Ilham” perintah Prabowo
“Prajurit akan bersemangat jika melihat komandannya bersemangat” balas Kapten  Prabowo di tengah desingan peluru tentara fretelin Timor yang seolah di arahkan padanya.

Sersan La Ode tak mau ambil resiko. Ia segera membekap badan Kapten Bowo, menggulingkannya ke tanah, menekan dengan separuh badan, lalu melepaskan rentetan peluru ke arah musuh.
Dibenaknya, Kapten Prabowo tidak boleh gugur di medan tempur.
Seberani apapun komandannya itu, ia adalah obor yang menghangatkan mereka di kala gundah, dan menjadi penyemangat pasukan di segala waktu.

Sersan La Ode tak habis pikir, pemuda gagah yang menjadi komandan kompi-nya itu seolah memiliki ‘nyali’ yang berlapis-lapis. Keberaniannya di medan tempur sama sekali tak mengisyaratkan jika ia adalah putera seorang Begawan Ekonomi dan mantu dari seorang Presiden yang amat di segani dunia internasional kala itu.

“Duarrr!! Letupan senjata api berkali-kali menghantam pasukan Kapten Prabowo, nyaris saja nyawa mereka melayang.
Tapi Prabowo mampu mengatur strategi jitu buat anak buahnya hingga tak satupun peluru-peluru milisi fretelin mengenai sasaran. Membaca situasi itu, Prabowo tak ciut, ia terus membakar semangat pasukannya untuk memukul mundur pasukan musuh. Strategi itu membuahkan hasil, beberapa musuh tertembak mati dan yang lainnya kocar-kacir melarikan diri ke hutan-hutan. Situasi mereda,
target untuk menguasai medan lawan terpenuhi. Sayangnya, radio penghubung milik pasukan Prabowo hancur terkena peluru dan bom musuh. Sehingga hubungan komunikasi pasukan
Prabowo dengan Jakarta menjadi terputus.
Malam mulai senyap, yang terdengar hanya jengkrik dan suara burung hantu malam dibelantara tanah berkapur dan hutan-hutan Timor. “Segera kembali ke markas, istirahat dan tetap waspada, radio
penghubung yang rusak segera dibenahi” begitu perintah Kapten

Prabowo. “Siapp!!” jawab pasukan.

Rusaknya radio penghubung pasukan baret merah yang dipimpin langsung Kapten Prabowo Subianto ini ternyata menimbulkan ‘situasi baru’ di Jakarta. Prabowo diisukan telah gugur di medan tempur. Tentu hal ini meresahkan Istana Negara. Bagaimanapun Prabowo telah menjadi ‘anak’ Presiden
Soeharto, karena Prabowo menikah dengan Titik Soeharto,.
“Hampir sepekan lamanya isu berseliweran termasuk di Jakarta, bahwa Kapten Prabowo Subianto telah meninggal dunia di medan tempur. Kami juga sempat resah dengan isu dan situasi seperti itu, padahal Mas Bowo sehat walafiat. bagaimanapun Mas Bowo adalah ‘nyawa’ dari pasukan, kalau
dibiarkan isu ini berlangsung lama, dapat menurunkan semangat tempur pasukan, ini hanya gara-gara radio penghubung rusak,” kenang La Ode Ilham akan peristiwa sebuah pertempuran di Timor-Timur di era tahun 1980-an.
Karenanya, pasukan berusaha keras agar radio penghubung itu dapat diperbaiki, atau mendapatkan radio baru.
“Alhamdulillah radio kami bisa berfungsi kembali” kata La Ode Ilham, yang kini pensiun dini dari TNI dengan pangkat terakhir ‘Mayor TNI’. Ilham sendiri dikenal sebagai Kopassus yang
amat dekat dengan Prabowo Subianto di pasukan.

“Kring..” Radio penghubung berhasil menghubungi Istana Negara. Seorang telah menerima telepon itu. Menurut La Ode Ilham, itu seperti suara dari Presiden Soeharto, sehingga kemudian ia dengan sigap melaporkan situasi terakhir pasukan termasuk kondisi komandannya, Prabowo Subianto yang sehat-walafiat dan membantah isu gugurnya Pak Prabowo. “Siap Jenderal!, Mas Bowo kondisinya sehat-walafiat,” jelas La Ode Ilham, kemudian menyerahkan telepon itu kepada Prabowo untuk berbicara langsung dengan istana.

La Ode Ilham tak bisa melupakan peristiwa itu. Termasuk kedekatannya dengan Prabowo Subianto yang disapanya ‘Mas Bowo’.
“Mas Bowo itu sangat pemberani, tegas dan selalu tepat dalam mengambil keputusan”
“Karenanya kami anak buahnya, jika berada di tengah-tengah Mas Bowo merasa sangat terlindungi, kamipun sangat melindungi Mas Bowo, bagaimanapun Mas Bowo bukan sekedar komandan kami, tapi beliau juga anak Presiden” kata Ilham.

Lain lagi cerita Letkol (Purn) Petrus Sunyoto, Kopassus yang pernah meraih penghargaan dari Presiden RI sebagai ‘Prajurit Terberani TNI’ punya kisah lain tentang sosok Prabowo Subianto.
“Pak Prabowo itu adalah prajurit yang tidak sekedar pemberani di medan tempur, atau tegas dalam  engambil keputusan, tetapi juga memiliki sikap ‘ngemong’ dengan rakyat,” kata Petrus.
Menurutnya, di sela-sela istirahat dari medan tempur, Pak Prabowo meluangkan waktunya untuk berbagi dengan rakyat kebanyakan. Bahkan tak sungkan-sungkan mengenalkan kepada rakyat Timor untuk berfikir lebih maju, menghilangkan perbedaan antar kelompok. “Maklumlah rakyat Timor kala itu dilanda ancaman perang saudara, sehingga Pak Prabowo mengajak mereka untuk bersatu. Bahkan pasukan ABRI kala itu diperintahkan Pak Prabowo untuk senantiasa melindungi warga sipil tak
bersenjata. Apalagi kaum perempuan dan anak-anak.

Hak-haknya juga harus dihormati,” tandas Petrus.
Ada dua pesan yang tak pernah lekang diingatan Pak Petrus soal Pak Prabowo Subianto, yakni, setiap prajurit ABRI di medan pertempuran pantang akan dua hal, yakni; tidak sekali-kali berlaku senonoh dengan perempuan, serta tidak mengambil hak yang bukan hak mereka.
“Pesan ini saya teruskan pada pasukan lain, siapa yang melanggar, maka sanksinya sangat berat, itu juga menjadi pedoman saya takkala memimpin pasukan,” imbuhnya.

Satu hal yang dicermati Pak Petrus tentang sosok Prabowo Subianto, yakni meski sibuk mengurus pasukan di medan tempur, tetapi waktu jeda digunakan Pak Prabowo untuk membaca. “Buku-buku bacaan beliau yang paling digemari saat itu, adalah buku-buku ekonomi dan buku yang berkisah tentang patriotisme dan heroisme,.”tandasnya.

Malah, keinginan Prabowo Subianto untuk menjadi Presiden Republik Indonesia, sebenarnya adalah cita-cita lama Pak Prabowo, sejak masih berpangkat Kapten TNI. “Jadi bukan sesuatu yang mengherankan jika Pak Prabowo mengatakan ingin jadi Presiden sekarang ini, itu sudah lama
sekali, semenjak beliau masih berpangkat Kapten, dan anak buah beliau di pasukan saya
yakin mereka masih mengingatnya,” jelas Petrus.

Meski begitu, cita-cita mulya itu tidak membuat jarak antara Prabowo dengan pasukannya.
Malah semakin membuat mereka melebur menjadi satu.
“Di pasukan, meski beliau adalah komandan kami, dan juga mantu Presiden, tetapi tak ada perbedaan, jika beliau makan nasi kotak, kami juga makan nasi kotak, semuanya harus sama.
Beliau sangat memperhatikan kesejahteraan anak buahnya.

“Saya sendiri berkata, inilah ssok Presiden masa depan itu” imbuh Petrus.

———————-
Demikian sepenggal cerita kisah Jenderal Prabowo Subianto yang merupakan hasil wawancara  singkat penulis dengan beberapa mantan pasukan Kopassus mantan pasukan Prabowo Subianto yang disarikan dari waktu dan tempat yang berbeda. (https://www.facebook.com/PrabowoSubianto/posts/)

Semoga bermanfaat.
Baca Selengkapnya

Kisah Cinta Yang Terbagi, Aku dan Dia Yang Ternyata Sahabatku Sendiri

CINTA TERBAGI ANTARA AKU DAN DIA YANG TERNAYATA SAHABATKU SENDIRI

Nama ku Ririn usia ku 16 tahun, aku  memiliki seorang sahabat bernama Dea yang sudah ku anggap sebagai  saudara ku sendiri karena kebetulan aku juga tidak memiliki saudara.  Kita sudah berteman sejak jaman SD dulu. Kemana-mana selalu bersama, apa  yang kita lakukan juga selalu berbarengan, namun sayang dalam urusan  cinta tidak selalu sama kriteria cowok kamipun berbeda-beda. Dan itulah  kami.

Cinta Terbagi Antara aku dan Dia Yang Ternyata Sahabatku Sendiri

Ku dengar teriakan dea dari arah belakang untuk menunggunya. Aku pun menoleh kebelakang dan menunggunya yang baru saja keluar dari mobil ayahnya. Setelah itu kami pun segera masuk ke dalam ruangan kelas dan mengikuti pelajaran hingga usai di jam 13.30.

Saat pulang seperti biasa aku mengantar dea dengan mobilku. Lalu aku say goodbye dan melaju keluar dari halaman rumah dea. Kami bagaikan anak kembar yang tak bisa terpisahkan.
***

Waktu bergulir begitu cepat tak ku sadari sekarang aku telah berusia 17 tahun dan aku ingin di usia 17 tahun ini aku bisa mendapat seorang kekasih seperti teman-teman ku yang lain. Namun di usia ini juga aku merasakan hal yang berbeda yaitu minggu lalu dea dan keluarganya memutuskan untuk pindah keluar kota karena alasan pekerjaan. Sedih!! Memang sedih karena sahabat yang aku sayangi akan pergi meninggalkan ku dan tak tahu pasti kapan aku bisa bertemu dengannya lagi. Sebelum jalan dea mengatakan padaku bahwa "sekarang kita sudah berusia 17 tahun dan aku ingin kita bisa punya cowok yang seperti kita harapkan dan suatu saat nanti kita bisa bertemu dan menggandeng pasangan kita masina-masing".

Kalimat itu masih terukir jelas diingatanku. Sekarang semua hal yang aku lakukan terasa begitu hampa tanpa dea disini, namun aku berusaha untuk bangkit kembali.

Krriinggg.. krriinggg.. bel tanda pelajaran akan dimulai membangunkanku dari lamunan ku tentang dea. Ku lihat dari jauh wali kelas ku datang dengan ditemani seorang cowok yang tampan dan ku taksir dia adalah murid baru. Dan ternyata taksiranku benar namanya Rian dan dia adalah murid baru pindahan dari luar kota. Informasinya sih katanya dia itu anak yang baik, pintar, kaya dan juga mudah bergaul. Rian duduk berseblahan dengan ku, dia menempati kursi kosong yang dulu ditempati sama dea.

Singkat cerita sekarang aku dan rian semakin akrab dan kadang teman-teman yang lain mengira kalau kami berpacaran, sebenarnya sih aku ingin itu menjadi kenyataan namun rian itu terlalu populer di sekolah sehingga ku pikir pasti dia udah punya pacar yang jelas lebih baik dan lebih cantik dariku.

***

Semakin hari hubungan ku dan rian semakin dekat kalau boleh dibilang kami layaknya sudah seperti sepasang kekasih. Andaikan sebuah kata cinta terlontar dari mulut rian, tanpa berlama-lama aku pasti langsung menerima cintanya, jangankan kata cinta tanda-tanda menyatakan cinta saja tak pernah terlihat dari gerak gerik rian mungkin dia hanya menganggap ku seorang teman dan tak lebih dari itu.

Setiap hari rian Selalu mengantar ku pulang, (kebetulan sekarang ayah ku tak mengijinkan aku membawa kendaraan sendiri karena dulu aku hampir saja kecelakaan) mengajak ku jalan-jalan kadang juga dia mengajakku kerumahnya dan mengenalkanku pada orang tuanya. kadang aku bertanya pada hatiku sendiri "rian kamu sayang yah sama aku, sampai-sampai kamu ngenalin aku ke orang tua kamu?" pertanyaan bodoh.

Namun pertanyaan itu akhirnya terkabul juga. Kemarin sore saat rian mengantar ku pulang ke rumah dia berhenti di sebuah taman bunga dan menyatakan perasaannya padaku, aku pun menjawab ya dan akhirnya kami pacaran dan sekarang aku telah memiliki seorang kekasih yang selama ini aku harapkan.

Terasa indah bisa memiliki rian dan terasa nyaman saat bersamanya. Buatku rian lah yang terbaik sebab dia mampu menghapus kesedihanku karena kehilangan dea.

***

Sudah dua tahun lebih aku menjalin hubungan dengan rian ternyata cinta pertamaku saat SMA bisa berlanjut hingga sekarang. Aku dan rian kuliah di universitas yang sama di daerahku.

Saat pulang kerumah mama memberitahu bahwa dea besok akan kembali kesini aku tidak sabar untuk bisa bertemu dengan dea. Aku langsung menelpon rian agar besok ikut bersamaku, rian pun mengiyakannya.

Keesokan harinya kami sekeluarga beserta rian pergi menjemput dea dan keluarganya di bandara, setelah sampai disana kami harus menunggu dan tak lama kemudian dea pun muncul aku langsung memeluknya dan menangis. Lalu kami mengantarkan dea ke rumanhya. Di tengah perjalanan aku mengusulkan dea agar kuliah di universitas yang sama denganku dan dea pun menyetujuinyanya.

Hari ini saatnya aku dan dea bisa bersama kembali. Dijemput oleh rian kami akhirnya menuju kekampus.

***

Persahabatanku dengan dea terjalin seperti dulu lagi makin akrab namun tidak dengan cintaku, aku merasa rian semakin jauh dan hubungan kami pun makin renggang. Saat aku ingin membahas ini dengannya dia selalu beralasan sedang sibuk. Hingga suatu hari temanku memberitahu bahwa dia melihat rian sedang bersama dengan dea. Namun aku mencoba menepis kalimat itu dan akhirnya aku melihat sendiri bahwa rian sedang bergandengan tangan dengan seorang yang tak lain adalah dea. Hati ku sangat sakit melihat itu. Lalu aku meminta kejelasan dari rian tentang perihal ini. Aku mohon  agar rian jujur dengan ku. Rian pun memohon maaf padaku kerena dia telah menghianatiku dan berpacaran dengan dea sahabat terbaikku.

Aku tidak mungkin memusuhi dea hanya karena rian berselingkuh dengannya. Dea tak henti-hentinya meminta maaf padaku walau kata maaf telah ku berikan padanya namun jujur relung hatiku belum siap untuk memberikan maaf pada dea dan rian yang telah membagi cinta ku.

***

Sebulan sudah aku menjalani hidup yang ku rasa tiada artinya. Tiada senyum, tiada tawa yang ada hanya air mata dan kepedihan.

Hari ini hujan turun dengan derasnya seperti banyaknya air mata yang telah ku pendam dalam hatiku. Saat aku akan pulang rian menarik tangan ku dan memohon maaf pada ku, aku tak tahu ini permintaan maaf yang keberapa kalinya. Rian meminta maaf karena telah membagi cintanya dengan dea. Aku memjawabnya dengan santai "sekarang aku ingin kamu tahu bahwa bahagiamu adalah bahagiaku dan bahagia dea juga adalah bahagia ku" aku ingin rian dan dea bisa bersama selamanya dan aku tidak ingin dea merasakan hal yang aku rasakan saat ini. Cairan bening dari mataku turun tanpa tertahankan aku segera melangkahkan kaki ku keluar tanpa ku pedulikan hujan yang deras dan air yang dingin. Aku mendengar rian dan dea memanggilku namun aku tidak mempedulikan mereka. Aku berjalan dengan muka tertunduk dan tak bergairah hidup..

Walau sekarang aku dan rian telah berpisah 6 bulan lamanya namun rasa sakit hati ini tak kunjung terobati meskipun sekarang hatiku sudah di miliki orang lain..

Terasa indah saat bersamamu

Terasa damai saat di sampingmu

Namun kini yang terjadi

Kau membagi cinta dengan sahabat ku..

Kurelakan kau bersamanya

Asalkan engkau bahagia

Biarlah derita ini

Kini ku tanggung sendiri.. :"(



PROFIL PENULIS

Nama : Lilly Paut
Alamat : KUPANG, NTT
Asal sekolah : SMAN 1 KUPANG
Program : Bahasa

Add fb : Lilly ElfSiwonest
Baca Selengkapnya

KISAH ULAR DAN GERGAJI

Seekor ular memasuki gudang tempat kerja seorang tukang kayu di malam hari.
Kebiasaan si tukang kayu adalah membiarkan sebagian peralatan kerjanya berserakan dan tidak merapikannya.

Nah ketika seekor ular itu masuk ke gudang tukang kayu, secara kebetulan ia merayap diatas gergaji, tajamnya gergaji menyebabkan perut ular terluka. Ular beranggapan gergaji itu menyerangnya,ular itu pun membalas dgn mematuk gergaji itu berkali - kali.
Serangan yang bertubi-tubi menyebabkan luka parah di bagian mulutnya, marah dan putus asa ular berusaha mengerahkan kemampuan terakhirnya untuk mengalahkan musuhnya. Ular pun lalu membelit kuat gergaji itu, belitan yang menyebabkan tubuhnya terluka parah akhirnya ular itu mati binasa. Di pagi hari si tukang kayu menemukan bangkai ular tersebut di sebelah gergaji kesayangannya.

Sahabat...
Kadangkala di saat marah, kita ingin melukai orang lain. Setelah semua berlalu, kita baru menyadari bahwa yang terluka sebenarnya adalah diri kita sendiri. Banyak perkataan yang terucap dan tindakan yang dilakukan saat amarah menguasai, sebanyak itu pula kita melukai diri kita sendiri.

Ketahuilah dendam benci/curiga/pikiran negatif apapun itu, sebenarnya bagaikan ular yang membelit gergaji, telah ribuan kali muncul dalam pikiran kita yg menusuk dan membakar hati kita sendiri.

Latihlah setiap saat untuk mengampuni, memaafkan dengan tulus, mampu dgn cepat melepaskan & membuang sampah pengotor hati dan pikiran kita sendiri.
Jangan biarkan dendam menguasai dirimu jangan diperbudak oleh rasa dendam

Sumber: Inpirasi Kehidupan facebook
Baca Selengkapnya

CERPEN SEDIH - CINTAKU PADA SUAMIKU TAPI CINTAKU BUKAN UNTUK MERTUAKU

Rumah kecil berdinding tepas bambu, dengan ukuran yang tidak terlalu besar dan alas berlantaikan tanah, disitu tinggalah satu keluarga yang hidup serba kekurangan. Sebut saja namanya nek Anom. Beliau tinggal bersama cucunya yang bernama Bagus dan kek Paijan. Hidup yang penuh kekurangan tidak menjadikan keluarga ini melakukan yang tidak terpuji. Biarpun sudah tua, mereka masih saja bekerja demi sesuap nasi dan demi menghidupi cucunya yang tinggal bersamanya.

"Gus....bagus.... ooo..gus!! dimanalah kamu nak, udah jam segini kok gak siap-siap ke sekolah, ntar kamu terlambat ke sekolah. Terdengar suara nenek yang memanggil cucunya dari gubuk bambu.

Bagus adalah cucu nek Anom. Dia diasuh sejak kecil. Orangtuanya sudah lama menitipkannya kepada nek Anom, karena mereka harus bekerja keluar negeri sebagai TKW. Jika bicara tentang bagus, Ya.... dia anak yang bisa dibilang sedikit bodoh, karena faktor ekonomi membuat dia kurang mendapatkan gizi baik saat pertumbuhanya sehingga menginjak 9 tahun dia masih belum bisa baca dan tulis. Melihat kehidupan mereka, kepala desa tempat dia tinggal memberi bantuan kepada mereka dan menyekolahkan cucunya dengan Cuma-Cuma. Semua biaya sekolah ditanggung pihak desa setempat. Namun, karena bagus punya sifat yang agak idiot tidak ingin melanjutkan sekolah.
Hari lebaran yang ditunggu-tunggu umat islam telah tiba. Dimana banyak warga sekitar yang sibuk mempersiapkan untuk menyambut datangnya hari kemenangan itu. Ada yang pergi untuk membeli pakaian bagus-bagus untuk dipakai dihari raya, ada yang membersihkan rumah dan mengiasa rumah, ada yang sibuk di dapur untuk memasak. Namun tidak untuk keluarga nek Anom. Keluarga yang tinggal menumpang dengan warga itu hanya bisa duduk terdiam dan tidak melakukan hal yang istimewa untuk menyambut hari bahagia itu. Jangankan untuk membeli pakaian bagus, untuk makan sehari-hari saja mereka kekurangan.

Nek Anom sedih melihat cucunya Bagus. Dalam hati kecilnya nek Anom ingin sekali membelikan baju untuk bagus. Tapi dia hanya bisa berniat dalam hati. Orangtuanya yang menjadi TKW tidak pernah mengirimkan uang kepadanya. Bahkan untuk menanyakan kabar tentang mereka saja tak ada.

Kek Paijan yang bekerja mencari pucuk padi di sawah-sawah tentangga tidak bisa diharapkan lebih untuk mewujudkan niat itu. Ditambah lagi dengan kondisi kek Paijan yang cacat, dimana kaki kanannya tidak bisa berfungsi sejak dia lahir.

Melihat itu kadang tentangga memberi bantuan berupa makanan, dan pakaian bekas yang bisa mereka gunakan. Yang lebih sedih jika tanah yang mereka tumpangi itu harus direlakan dipakai kembali oleh si pemilik tanah itu. Sedihlah nek Anom dan kek Paijan untuk mencari tempat tinggal walaupun hanya sekedar menumpang.

Jauh dari kondisi ekonomi nek Anom, ada salah satu anak nek Anom yang sudah menikah dan memiliki 3 orang anak dan mereka tinggal disekitar itu juga. Pak kijan adalah anak nek anom yang menikah dengan istrinya yang bernama Ijum. Kehidupan mereka serba kecukupan. Rumah berdindingkan batu, berlantai keramik dan memiliki beberapa sawah yang lumayan lebar. Dengan kondisi yang begitu mewah, tak terlintas dipikiran ijum untuk membawa mertuanya tinggal bersamanya bahkan memberikan tupangan tanah pun enggan dia lakukan.

Lebaran pun dia lewatkan untuk bersilahturahmi ke rumah mertuanya yang miskin itu. Seperti cerita malin kudang saja yang lupa dengan ibunya. Tapi ini nyata apa adanya. Sungguh malang nasib nek Anom yang miskin dan harus menahan perih dari prilaku menantunya itu.

Sampai suatu saat kek Paijan jatuh sakit yang cukup lama, ijum menantu nek Anom tidak ada sedikitpun melihat ataupun menjenguknya. Hanya anak lelakinya saja yang melihat tetapi bantuan uang atau yang lainnya tidak didapat untuk kek Paijan. Sungguh tega si ijum kepada mertuanya itu. Harta yang berlimpah begitu tak bisa ia sisakan sedikit untuk membantu. Hari kehari kondisi kek Paijan sungguh memperhatinkan. Warga yang iba melihatnya memberi bantuan untuk mengobati penyakitnya. Tapi dengan kondisi yang sudah tak muda lagi, kek Paijan tidka bisa bertahan lama. Selang berobat beberapa minggu, kek Paijan menghembuskan nafas terakhirnya di gubuk tua yang ia tinggali.


Sejak kepergian kek Paijan, kehidupan nek Anom semakin memburuk. Khusunya kondisi ekonomi yang kian tak bisa ia penuhi. Nek Anom bekerja kesana kemari membantu warga untuk mendapatkan uang untuk kehidupannya. Dengan susah payah nek Anom bertahan hidup, sedikitpun tak ada niat si ijum untuk membantunya apa lagi membawa mertuanya tinggal. Ia biarkan saja mertuanya itu hidup dalam kesusahan.

1 tahun berlalu sejak kepergian kek Paijan, nek Anom masih bisa bertahan menyambung hidupnya dan cucunya. Ya... si bagus cucunya memiliki terbelakangan mental sudah tumbuh menjadi anak remaja tanggung. Dia mulai bisa bekerja untuk membantu kehidupan ekonomi neneknya itu. Kadang dia bekerja sebagai kuli batu, atau bekerja dengan tentangga lainnya. Sedikit demi sedikit si bagus bisa menyembuhkan kondisi keuangan neneknya itu.

Malang tak bisa ditolak takdir tak bisa dihindar. Mungkin itu kata-kata yang bisa dipakai untuk menantunya nek Anom. Musim panen padi yang lalu, si ijum gagal panen dan merugi besar akibat yang kerusakan padi. Padi yang ia tanam terserang hama penyakit yang menyebabkan gagal panen. Selang beberapa bulan, suami si ijum meninggal dunia karena darah tinggi. Kepergian suaminya itu tak juga membuka mata hatinya kepada mertuanya. Apa lagi suaminya sudah tidak ada, dia bahkan lebih tega dan lupa kepada mertuanya itu. Ibarat kacang lupa dengan kulitnya. Meskipun dia tinggal dengan anak-anaknya tetapi sikap angkuh dan sombongnya juga tidak berubah. Ditambah lagi kondisi ekonominya yang mulai merosot tanjam jauh dari kesuksesannya tidak juga menyadarkan dia kepada keluarganya.

Sungguh menantu yang tidak tau balas budi. Cinta dengan anaknya tak cinta dengan keluarganya, mau dengan hartanya tak mau dengan kesusahan keluarganya. Ternyata Allah tidak tidak tidur dengan apa yang dia perbuat. Apa pun yang ia tanam di sawah selalu gagal. Dan waktu pesta pernikahan anak gadisnya menjadi ancur-ancuran. Dimana ujan deras melanda tak ada hentinya, para undangan juga enggan datang dengan kondisi cuaca itu. Dengan kegagal tersebut hutang pun menumpuk. Sedikit demi sedikit sawah yang ia punya terjual juga.

Sedangkan nek Anom sekarang tinggal jauh dari menantunya itu dan ikut bersama anak dia yang lain. Mungkin cobaan akan terus terjadi kepada orang yang sudah tidak tau balas budi. Kini si ijum hidup sudah hampir sama dengan kondisi mertuanya dulu. Semoga aja ini menjadikan pelajaran kepada kita agar tidak menjadi anak yang durhaka kepada siapa pun. Hidup janganlah sombong dan jadilah orang yang bersifat arif dan baik.

Karya Maya Winandra Nova
https://www.lokerseni.web.id/2013/05/cintaku-pada-suamiku-tapi-cintaku-bukan.html
Baca Selengkapnya

Sanggupkah Aku? Kisah Nyata Perempuan Kecil Titipan Tuhan

[Inspirasi Hidup] Sanggupkah Aku? (Kisah Nyata Perempuan Kecil Titipan Tuhan)

Hidup memang tak selalu indah namun akan selalu ada keindahan dalam hidup, terkadang harapan dan keinginan tak sesuai dengan kenyataan tapi tak ada satupun di dunia ini yang diciptakan tanpa pasangan. Begitu pula saat musibah menimpa pastilah akan ada hikmahnya, dan juga sebuah masalah pasti akan dibarengi dengan solusi. Bagaikan sebuah film, kehidupan yang kita alami sudah terskenario dengan baik di dalam kitab Lauhil Mahfudz.
Dan setiap orang mempunyai kisahnya masing-masing dan menjalaninya dengan cara yang berbeda-beda. Mungkin diantara mereka ada yang hidup dengan bergelimangan harta, hidupnya dipenuhi dengan kesenangan, sampai mereka yang hidup serba kekurangan dan mempunyai banyak cobaan. Akan tetapi rencana Allah tidak pernah salah dan Dialah Yang Maha Mengetahui yang terbaik bagi hamba-Nya.

Hal itulah yang membuatku tidak pernah putus asa dan tetap semangat dalam menjalani hari-hariku. Terkadang saya sering membayangkan jika saja terlahir diantara orang kaya, tapi saya sangat mensyukuri kehidupan yang sedang kujalani karena bukanlah harta serta kekayaan sebagai penentu kebahagiaan seseorang tetapi bagaimana kita mensyukuri nikmat Allah dengan tidak pernah mengeluh dan berputus asa.

"Dhila, sarapan dulu nak" panggil ibuku.

Tanpa berfikir panjang saya langsung bergegas dan terhentak dari lamunanku mendengar suara ibu dari luar pintu kamar yang seakan-akan tidak terdengar olehku.

"Iya bu, tunggu sebentar" jawabku

Dhila, itulah nama terindah yang diberikan orang tua saya terhadapku sebagai tanda pengenal bagi mereka dan orang-orang disekitarku. Saya terlahir di sebuah desa yang kebanyakan penduduknya adalah petani termasuk ayah saya.

Sesampainya di dapur, saya langsung mencicipi masakan ibu meskipun terlihat sederhana namun bagiku itulah makanan yang terbaik bagiku. Selang beberapa waktu kemudian, datanglah beberapa orang temanku dan langsung mengajakku untuk menonton sebuah pertandingan futsal di lapangan yang kebetulan tidak begitu jauh dari rumahku. Hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya, namun melihat mata mereka yang begitu mengaharapkanku untuk ikut dengannya selagi libur sekolah, akhirnya kuputuskan menontonnya bersama.

Namun sebelum sampai ke tempat tujuan, tiba-tiba badanku terhenti seakan tak bisa digerakkan membuatku tertinggal jauh dari mereka. Entah mengapa seakan-akan ada sesuatu yang menahan diriku dan sepertinya menarik badanku yang lemah untuk menoleh ke belakang. Perlahan kugerakkan kepalaku kesamping dan membalikkan badanku. Akan tetapi tak seorang pun yang saya lihat, saat hendak mengejar ketertinggalanku dengan teman-teman tiba-tiba seorang anak perempuan yang berumur sekitar 10 tahun dengan pakaian yang kusut menarik bajuku dari belakang sambil menjunjung setandan pisang yang sudah matang dan terpisah-pisah.

"Kakak mau beli pisang?" pintanya dengan wajah yang memohon.

Melihat tubuhnya yang kian lelah membuatku merasa iba, akan tetapi saat hendak membantunya tiba-tiba badannya terhempas ke tanah dan kulihat tubuhnya yang kian melemah. Keringatnya bercucuran, serta kedua bibirnya mulai mengering. Tak ada satupun orang di tempat tersebut kecuali saya dan anak tersebut. Akhirnya tanpa berfikir panjang kulangsung membangunkannya dan menggandengnya ke sebuah batu besar yang tidak begitu jauh dari kami untuk beristirahat. Dijadikannya diriku sebagai tempat bersandar sambil menangis seakan-akan aku adalah kakaknya.

"Adek, kenapa menangis?" tanyaku kepadanya sambil mengelus rambutnya yang lurus.

Dia pun menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya dan keluarganya. Mendengar cerita dari anak tersebut membuatku seakan berhenti bernafas dan tanpa terasa air mataku membasahi tubuhnya yang mungil.

"Ya Allah saya sangat bersyukur kepada-Mu atas semua Karunia dan Rahmat-Mu, ternyata kisah kehidupan anak ini lebih menyakitkan dariku" Kataku dalam hati.

Anak tersebut mengingatkanku akan kehidupanku sewaktu kecil, tentang perjuangan dan ketidakputus asaan dan berharap kepada Allah SWT.

Ketika berusia 4 tahun, masih segar diingatanku akan diriku dikala tersebut. Ibuku mengalami sakit yang kata orang-orang penyakit lumpuh, dan memang sejak ibuku mengandungku dia sudah dalam keadaan tersebut. Orang-orang selalu mengatakan bahwa bagaimana mungkin orang yang sakit lumpuh dan tidak bisa tersentuh dengan air sedikitpun akan melahirkan. Hal tersebut membuat ibuku semakin takut, karena memang jika dilihat dari kondisinya saat itu dan merujuk pada logika maka suatu ketidakmungkinan. Bahkan pada saat itu dia tidak bisa bangun dari tempat tidur, dan hanya dilakukannya adalah tidur. Beribu kekhawatiran yang timbul difikiran ibuku yang membuatnya semakin takut. Namun, dia hanya berdo'a kepada Allah karena yang bisa membantunya hanyalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Hingga saatnya aku dilahirkan kondisinya masih tetap sama, akan tetapi atas izin Allah tak ada sedikitpun masalah. Orang-orang kurang percaya karena melihat kondisinya yang kurang memungkinkan akan tetapi itulah kuasanya Allah.

Tidakkah mereka memperhatikan sebuah hadits yang mengatakan bahwa meskipun semua orang mengatakan "tidak" akan tetapi jika Allah berkata "iya" maka tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Karena di dalam Al-Quran juga telah dikatakan bahwa cukuplah Allah mengucapkan Kun fayaakun jadilah maka jadilah. Meskipun manusia mengatakan tidak mungkin namun segala Kuasa ada di tangan-Nya.

Hingga ketika saya berusia 4 tahun, keadaannnya masih tetap sama. Akan tetapi dia sudah bisa bangun dari tempat tidurnya namun belum bisa berjalan. Layaknya seorang anak-anak saya ingin bermain bersama teman-teman yang lainnya tapi teringat dengan jelas difikiranku tidak pernah sekalipun saya melakukannya, karena saya harus tinggal dirumah dan menjaga ibuku.

Meski tak banyak yang dapat saya lakukan tapi itulah yang kulakukan setiap hari. Hingga berusia 5 tahun ku hanya bisa melihat teman-teman sebayaku digandeng oleh ibunya kesana kemari sedangkan aku hanya bisa melihat mereka. Namun hikmah yang kudapatkan adalah banyak hal yang bisa saya tahu sejak usia tersebut, mulai dari surah Al-Fatihah, Surah An-Nas hingga Al-Maun. Oleh karena itu, saat memasuki TK saya sudah hafal huruf abjad dan juga angka. Namun sebagai anak yang masih polos saat pertama masuk Taman Kanak-kanak tangisku tak tertahan karena melihat semua teman-teman ditemani oleh ibunya.

Orang-orang berpendapat bahwa penyakit ibuku sepertinya tidak bisa disembuhkan mengingat sudah berapa lama dia menjalaninya. Mungkin mereka tidak mengetahui akan penyakit yang menimpa nabi Ayyub a.s, sebuah penyakit kulit yang dipenuhi ulat kemudian dinamakan kusta dan diderita selama 17 tahun. Dan atas izin Allah nabi Ayyub bisa sembuh karena kesabarannya. Penyakit ibuku pun perlahan-lahan sembuh saat aku mulai menempuh pendidikan sekolah dasar. Alhamdulillah dia bisa mengantarku ke sekolah dasar pada hari pertama. Kebahagiaan yang kurasakan saat itu tak bisa kudeskripkan rasanya jantungku ingn keluar. Setelah sakit selama beberapa tahun yang menurut orang-orang susah untuk sembuh akhirnya dengan pertolongan Allah ibuku bisa sembuh meskipun belum sepenuhnya.

Keceriaan dalam hidupku pun kembali setelah tenggelam beberapa waktu, dan layaknya seorang anak kecil hari-hariku dipenuhi dengan kebahagiaan bermain bersama teman-teman. Namun mungkin itulah hidup tak selamanya sesuai dengan keinginan, keceriaan yang kualami tak berlangsung lama. Menduduki bangku kelas III sekolah dasar sebuah masalah menimpa keluargaku, ku belum tahu yang sebenarnya karena usiaku yang masih kecil tapi pada saat itu ayahku pergi meninggalkan ibuku. Orang-orang bertanya kepadaku dimana ayahku sekarang dengan cara menyindir dan meledek seakan menusuk relung hati. Saat ku bertanya dimana dia sekarang ibuku hanya terdiam dan mungkin hal inilah yang juga membuatku terpukul.

"Kasihan, ditinggal sama ayahnya" begitulah kata orang-orang terhadapku dan sebagai anak kecil saat itu saya hanya bisa mengatakan bahwa dia hanya merantau untuk mencari nafkah.

Hari demi hari kulewati tanpa sosok seorang ayah dan untuk menghidupi keluarga, ibuku yang belum sembuh sepenuhnya membuat beberapa gorengan dan menyuruhku untuk menjualnya. Kubawa jualan tersebut setiap kesekolah akan tetapi kubelum tahu cara untuk menjual karena ini merupakan pertama kalinya. Saat pulang kulihat wajah ibuku yang berseri-seri didepan pintu seakan menunggu kepulanganku. Kulihat dia menghitung hasil jualannya namun ternyata banyak kerugian yang didapatkannya. Bagaimana tidak seorang anak kecil sepertiku yang belum tahu tentang jual beli mudah untuk dibohongi orang lain atau para pembeli. Rasanya hatiku ingin berteriak pada saat itu melihat betapa susahnya ibuku membuatnya namun ternyata hasil yang didapatkannya tidak sesuai.

"Ya Allah aku rindu dengan ayahku, kapankah dia akan kembali" itulah doaku setiap harinya dengan penuh pengharapan kepada-Nya.

Usiaku semakin bertambah namun ayahku masih belum pulang atau mungkinkah dia tidak akan kembali lagi. Ejekan dari orang-orang terhadapku semakin tak henti-hentinya mereka mengatakan bahwa ayahku telah menikah. Tentu saja hal tersebut membuatku terpukul dan menghanyutkanku dalam kesedihan. Seiring bertambahnya usia pengetahuanku pun semakin tinggi apalagi di bidang Matematika sehingga sejak kelas IV sekolah dasar saya selalu mewakili sekolahku untuk mengikuti olimpiade Matematika, walau tanpa sosok ayah. Namun kondisi ekonomi keluargaku semakin memburuk sehingga dengan penuh kesabaran dan keikhlasan sebelum berangkat ke sekolah terlebih dahulu kakiku melangkah ke sebuah tempat yang tidak begitu jauh dari sekolah. Bermacam-macam jualan yang kubawa ke tempat tersebut mulai dari pisang, kacang ditambah lagi titipan dagangan dari orang lain yang dipercayakan kepadaku.

Dengan memakai pakaian seragam sekolah ku duduk disebuah tempat dan membentangkan tikar yang kubawa lalu duduk diatasnya. Namun tidak begitu banyak pembeli sehingga membuatku harus menunggu lama. Dan kulihat beberapa orang yang juga memakai seragam sekolah tengah menertawaiku sambil mengejekku. Tak ku perdulikan mereka meskipun hatiku sedang menangis mendengar ucapan mereka. Tidak pernah ku sesali keadaanku karena ku yakin Allah mempunyai rencana yang terbaik bagiku. Terkadang saya harus kembali dengan keadaan yang sama tanpa membawa sepeser uang, sehingga saat ke sekolah seringkali aku tak membawa apapun dan kuhanya bisa melihat mereka yang makan dikantin sekolah. Sepulang sekolah pun kuharus kembali menjual titipan orang  dengan berkeliling desa namun hasil yang kudapatkan meskipun tak seberapa setidaknya bisa membantu ibu.

Saat bulan Ramadhan telah tiba, tak ada yang kuminta kepada Allah selain mengharapkan agar ayahku pulang ke rumah. Ditengan kesunyian malam, saat semua orang tertidur pulas menuggu waktu sahur kumasih terjaga dari tidur hanya suara jangkrik yang menemaniku. Kubangun dan berdo'a kepada Allah agar ayahku bisa pulang, itulah yang kulakukan setiap malamnya. Namun Ramadhan tahun itu kulewati tanpa bersama dengannya, kuhanya berfikir mungkin Allah akan mengabulkannya beberapa saat lagi.

Pagi itu terasa cerah sehingga membuatku ingin keluar rumah dan bermain bersama teman-teman. Sinar matahari pun semakin menyengat tubuhku hingga bercucuran keringat, karena lelah kuingin kembali kerumah. Betapa terkejutnya ketika ku melihat sesosok laki-laki yang sedang duduk di ruang tamu sambil memakai topi tengah melihatku dari kejauhan. Karena penasaran aku pun mendekatinya dan kulihat dirinya yang sepertinya tidak asing lagi bagiku. Jantungku pun semakin berdebar kencang saat semakin dekat dengannya dan ternyata dia adalah sosok yang selama ini kurindukan.

"Ayah..." ku peluk dirinya sambil menangis tersedu-sedu, kucubit diriku untuk memastikan bahwa ini bukanlah mimpi. Kulihat dia mengusap rambutku yang sedikit bergelombang, mungkin ini adalah jawaban dari do'aku selama ini kepada Allah. Rasanya badanku ingin meleleh karena kebahagiaan ini. Hal tersebutlah yang selalu membuatku yakin bahwa selama manusia berdo'a dengan sungguh-sungguh dan penuh khusyu' kepada-Nya maka Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan hamba-Nya. Keyakinanku semakin bertambah bahwa Allah akan senantiasa mengabulkan do'a hamba-Nya tapi tidak dengan sekaligus dan bukan berati Allah tidak mengabulkan do'a kita akan tetapi Dia Maha Mengetahui waktu yang tepat untuk mengabulkannya.

Sebelum mentari menampakkan dirinya ku terbangun dan betapa senangnya hatiku saat melihat ayahku sudah ada di rumah. Hari pertama kepulangan ayahku setelah pergi entah kemana membuatku ingin selalu memandanginya.

"Dhil, ayahmu sudah pulang?" sebuah pertanyaan yang membuatku merasa senang. Tentu saja kujawabnya dengan gembira karena sosok seorang ayah sudah ada di dekatku. Segudang cerita dan kesedihan ingin kuceritakan kepadanya, perlahan ku berjalan mendekatinya yang duduk di teras rumah. Saat mendengar curhatan dariku kulihat air mata membasahi pipinya yang mulai berkerutan.

"Ayah minta maaf nak, dan Insya Allah akan kuganti penderitaan yang selama ini kamu alami." Rasa bersalah menyelimuti hatinya seakan kesalahannya tidak bisa diampuni. Memang saat itu semua keluargaku belum bisa menerimanya karena telah meninggalkan keluarganya selama satu tahun lebih. Dan kukatakan kepadanya untuk tetap bersabar dan berusaha agar dia bisa dimaafkan.

Tetapi kehidupan tak selalu indah, bagaikan sayur pastilah akan hambar tanpa garam dan bumbu-bumbu. Namun semakin banyak bumbu yang diberikan akan semakin bagus pula akhirnya. Itulah kehidupanku, belum lama setelah kepulangan ayahku terjadi lagi beberapa masalah diantara kedua orangtuaku sehingga membuat hatiku terasa teriris-iris. Mengapa tidak, hampir setiap hari kumelihat ayah dan ibuku beradu mulut sehingga kebahagiaan yang baru saja kudapat seakan mulai sirna. Kuhanya bisa masuk ke dalam kamar dan menangis tapi sedikitpun tak pernah aku menyesali nasibku.

Sempat ayahku ingin meninggalkan rumah lagi dan mengatakan tidak akan kembali, tapi entah mengapa kulihat raut wajah yang penuh penyesalan pada dirinya. Tentu saja hal tersebut membuatku tertekan sehingga keadaan memaksaku untuk kembali membantu ibu. Tapi berbeda dengan sebelumnya, kali ini ku harus keliling desa untuk membeli jambu mete dari warga, meskipun terkadang kuharus pulang dimalam hari. Lelah, itulah yang kurasakan disaat harus membawa beberapa liter jambu dengan jarak yang lumayan jauh. Kembali lagi ejekan dari teman-teman terdengar ditelingaku yang mengusik ketenanganku. Tapi ku hanya berfikiran mungkin mereka mendo'akan ku untuk menjadi pengusaha yang sukses.

Tapi kuyakin Allah tidak pernah tidur, dan tidak akan memberikan cobaan kepada hamba-Nya melebihi batas kemampuannya. Alhamdulillah disekolah, ku sering mendapat beasiswa berprestasi yang tentu saja bisa membantu keuangan orang tuaku. Kupun pulang dengan wajah yang berseri-seri, namun tak kulihat seorangpun dirumah. Memang ayahku pulang disaat matahari sudah tak menampakkan dirinya, lalu ku cari ibuku di seluruh ruangan yang ada di rumah. Kulihatnya sedang tertidur di kamar tidak seperti biasanya, kebahagiaanku pun seakan terhanyut oleh derasnya arus air sungai. Kubangunkan ibuku dengan harapan membuatnya senang atas beasiswa yang kuterima, namun kulihat wajanya pucat dan kuurungkan niatku untuk memberitahunya sembari bertanya tentang keadaannya.

"Ibu tidak apa-apa?" namun tak ada jawaban darinya. Kusentuh dahinya ternyata badannya panas, dan kuberfikir mungkin dia sedang demam. Namun, sudah beberapa hari ibuku tak kunjung sembuh. Kulihat bintik hitam mulai menyelimuti badannya, yang pada saat itu kumasih duduk di bangku kelas V Sekolah Dasar. Orang-orang mengatakan bahwa ibuku mengalami sakit tipes dan sempat ku berfikir mungkinkah penyakit seperti yang dideritanya dulu. Hatiku bertanya-tanya dengan disertai perasaan takut dan cemas. Ternyata, benar penyakit ibuku yang dulu kembali lagi yang sepertinya tak ingin berpisah dari ibuku.

Hingga akhirnya ku tamat dari Sekolah Dasar namun keadaan ibuku masih tetap sama. Kebingunganku semakin bertambah karena kutak tahu dimana harus melanjutkan pendidikan mengingat kondisi ibuku yang sedang sakit. Apalagi jarak antara rumah dan sekolah tersebut sangat jauh. Jika kupergi sekolah pastilah tidak ada yang menjaga ibuku, tentu saja aku takut terjadi sesuatu dengannya. Akan tetapi ibuku mengatakan bahwa Allah akan selalu ada bersamanya.

Akhirnya kumulai perjalananku di Sekolah Menengah Pertama meskipun pada awalnya banyak ledekan dari orang-orang mengenai diriku. Rasa senang dan sedih menyelimuti diriku di hari pertama sekolah. Tentu saja hatiku senang karena kutak menyangka akan sekolah di sana, akan tetapi ku sedih karena harus meninggalkan ibuku sendiri dirumah. Sebelum mentari menampakkan dirinya ku sudah beranjak dari rumah, tak ada yang menemaniku kecuali suara ayam dan kicauan burung. Aku melangkahkan kaki setapak demi setapak melewati jalanan yang dipenuhi dengan lumpur dan bebatuan. Itulah yang kulakukan setiap harinya, meskipun terkadang aku terlambat.

Kadang diperjalanan kuharus ditemani oleh air mata langit yang membuatku harus belajar di sekolah dengan keadaan basah. Namun, saat disekolah pikiran dan jiwaku ada di rumah. Kutak henti-hentinya memikirkan ibuku apalagi mengingat kata orang-orang yang menusuk relung hatiku. Banyak cercaan yang kudengar semenjak ku sekolah disana, dan mengatakan bahwa aku tidak akan bertahan. Berbagai rintangan kulewati namun ku tetap yakin bahwa Allah mempunyai rencana yang terbaik untukku. Teringat dibenakku akan Imam Syafi'i yang mengatakan bahwa jika engkau tidak tahan menahan lelahnya belajar maka engkau akan menanggung perihnya kebodohan. Kata tersebut terus terbayang-bayang difikiranku sehingga membuatku tetap semangat. Apalagi menuntut ilmu adalah salah satu bentuk jihad.

Tapi hal yang membuat hatiku menjerit dan menangis adalah saat ku pulang dari sekolah tak ada yang menyambutku. Sesampainya dirumah ku hanya melihat ibuku yang terbaring di kamar dengan selimutnya. Dan melihat beberapa macam obat yang ada di dekatnya. Tak ada tempat curhat saat hatiku merasa sedih, selain kepada Allah.

Namun, hatiku akan senang jika sepulang dari sekolah kulihat ibuku duduk didepan radio sambil memakai selimut sembari tersenyum saat melihatku. Ingin rasanya ku berteriak dan mengatakan bahwa lebih baik aku saja yang sakit dan menggantikan ibuku. Sedih rasanya harus melihat ibuku terbaring sakit di kamar, dan tak berbicara sedikitpun. Terkadang aku ingin membangunkan ibuku karena ingin melihatnya tersenyum dan berbicara tapi ku tak tega harus melihatnya kedinginan. Saat melihat teman-temanku tertawa bersama dengan ibunya, bercanda bersama, ku hanya bisa menangis karena melihat ibuku yang sedang tertidur.

Banyak hal yang telah dilakukan dengan harapan ibuku bisa sembuh, hingga pada suatu hari seseorang asing datang kerumahku dan mengatakan bahwa ternyata selama ini penyakit ibuku diakibatkan karena kedengkian orang lain, mungkin bisa diistilahkan dengan ilmu hitam. Dan dia menyuruh melakukan sesuatu yang menjurus kepada musyrik. Tentu saja hal tersebut membuatku takut akan tetapi pada saat itu ibuku berada dalam kepayahan dan mungkin disitulah peran syaitan. Namun, tak sengaja tiba-tiba ku mengingat perkataan Ustads yang menceritakan tentang Nabi Ayyub alaihissalam. Bahkan do'anya diabadikan dalam Al-Quran, yang kemudian Allah SWT menyembuhkan penyakitnya, dimana menurut ukuran manusia sangat mustahil penyakitnya akan sembuh.

Mungkin inilah hidayah dari Allah, akhirnya hari demi hari penyakit ibuku mulai sembuh dan kutemukan kembali keceriaan yang telah lama tenggelam. Karena kuselalu yakin bahwa Allah tidak akan menguji manusia diluar batas kemampuannya. Selagi kita masih berusaha dan berdo'a maka Allah akan mendengarkan do'a hamba-Nya. Dan kini kesehatan ibuku sudah kembali dan kami semua sudah berkumpul, kuhanya berharap mudah-mudahan kedua orang tuaku diberi umur panjang dan kesehatan. Sekarang ku melanjutkan pendidikan di sekolah unggulan, yang tentu saja tidak terlepas dari Kuasa Allah SWT.

Tak ada yang kusesali dari cobaan tersebut, akan tetapi dengan adanya berbagai masalah tersebut justru semakin membuatku yakin kepada Allah dan menambah keimananku kepada-Nya. Bahkan cobaan tersebut semakin membuatku kuat dan tegar jika menghadapi masalah-masalah, karena aku sudah terbiasa dengan hal tersebut. Dan sebuah pepatah mengatakan bahwa nahkoda yang tangguh tidak akan lahir dari air yang tenang, akan tetapi dari berbagai macam ombak yang dilaluinya................. 

                                                                                 
SEMOGA BERMANFAAT !!!!!

Nurfadilah Zahratul Wahidah
Link sumber: https: /www.kompasiana.com/dhilazahwa
Baca Selengkapnya

Kisah Cinta Suami Istri Yang Mengharukan

Cerita Cinta Suami Istri yang Mengharukan

Pada hari pernikahanku, aku menggendong istriku. Mobil pengantin berhenti di depan apartment kami. Teman-teman memaksaku menggendong istriku keluar dari mobil. Lalu aku menggendongnya ke rumah kami. Dia tersipu malu-malu. Saat itu, aku adalah seorang pengantin pria yang kuat dan bahagia.

Ini adalah kejadian 10 tahun yang lalu.

Hari-hari berikutnya berjalan biasa. Kami memiliki seorang anak, aku bekerja sebagai pengusaha dan berusaha menghasilkan uang lebih. Ketika aset-aset perusahaan meningkat, kasih sayang diantara aku dan istriku seperti mulai menurun.



Istriku seorang pegawai pemerintah. Setiap pagi kami pergi bersama dan pulang hampir di waktu yang bersamaan. Anak kami bersekolah di sekolah asrama. Kehidupan pernikahan kami terlihat sangat bahagia, namun kehidupan yang tenang sepertinya lebih mudah terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang tak terduga.

Lalu Jane datang ke dalam kehidupanku.

Hari itu hari yang cerah. Aku berdiri di balkon yang luas. Jane memelukku dari belakang. Sekali lagi hatiku seperti terbenam di dalam cintanya. Apartment ini aku belikan untuknya. Lalu Jane berkata, “Kau adalah laki-laki yang pandai memikat wanita.” Kata-katanya tiba-tiba mengingatkan ku pada istriku. Ketika kami baru menikah, istriku berkata “Laki-laki sepertimu, ketika sukses nanti, akan memikat banyak wanita.” Memikirkan hal ini, aku menjadi ragu-ragu. Aku tahu, aku telah mengkhianati istriku.

Aku menyampingkan tangan Jane dan berkata, “Kamu perlu memilih beberapa furnitur, ok? Ada yang perlu aku lakukan di perusahaan.” Dia terlihat tidak senang, karena aku telah berjanji akan menemaninya melihat-lihat furnitur. Sesaat, pikiran untuk bercerai menjadi semakin jelas walaupun sebelumnya tampak mustahil. Bagaimanapun juga, akan sulit untuk mengatakannya pada istriku. Tidak peduli selembut apapun aku mengatakannya, dia akan sangat terluka. Sejujurnya, dia adalah seorang istri yang baik. Setiap malam, dia selalu sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk di depan televisi. Makan malam akan segera tersedia. Kemudian kami menonton TV bersama. Hal ini sebelumnya merupakan hiburan bagiku.

Suatu hari aku bertanya pada istriku dengan bercanda, “Kalau misalnya kita bercerai, apa yang akan kamu lakukan?” Dia menatapku beberapa saat tanpa berkata apapun. Kelihatannya dia seorang yang percaya bahwa perceraian tidak akan datang padanya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya ketika nanti dia tahu bahwa aku serius tentang ini.

Ketika istriku datang ke kantorku, Jane langsung pegi keluar. Hampir semua pegawai melihat istriku dengan pandangan simpatik dan mencoba menyembunyikan apa yang sedang terjadi ketika berbicara dengannya. Istriku seperti mendapat sedikit petunjuk. Dia tersenyum dengan lembut kepada bawahan-bawahanku. Tapi aku melihat ada perasaan luka di matanya.

Sekali lagi, Jane berkata padaku, “Sayang, ceraikan dia, ok? Lalu kita akan hidup bersama.” Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak bisa ragu-ragu lagi.

Ketika aku pulang malam itu, istriku sedang menyiapkan makan malam. Aku menggemgam tangannya dan berkata, “Ada yang ingin aku bicarakan.” Dia kemudian duduk dan makan dalam diam. Lagi, aku melihat perasaan luka dari matanya.

Tiba-tiba aku tidak bisa membuka mulutku. Tapi aku harus tetap mengatakan ini pada istriku. Aku ingin bercerai. Aku memulai pembicaraan dengan tenang.

Dia seperti tidak terganggu dengan kata-kataku, sebaliknya malah bertanya dengan lembut, “Kenapa?”

Aku menghindari pertanyaannya. Hal ini membuatnya marah. Dia melempar sumpit dan berteriak padaku, “Kamu bukan seorang pria!” Malam itu, kami tidak saling bicara. Dia menangis. Aku tahu, dia ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi di dalam pernikahan kami. Tapi aku sulit memberikannya jawaban yang memuaskan, bahwa hatiku telah memilih Jane. Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya mengasihaninya!

Dengan perasaan bersalah, aku membuat perjanjian perceraian yang menyatakan bahwa istriku bisa memiliki rumah kami, mobil kami dan 30% aset perusahaanku.

Dia melirik surat itu dan kemudian merobek-robeknya. Wanita yang telah menghabiskan 10 tahun hidupnya denganku telah menjadi seorang yang asing bagiku. Aku menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu, daya dan tenaganya tapi aku tidak bisa menarik kembali apa yang telah aku katakan karena aku sangat mencintai Jane. Akhirnya istriku menangis dengan keras di depanku, yang telah aku perkirakan sebelumnya. Bagiku, tangisannya adalah semacam pelepasan. Pikiran tentang perceraian yang telah memenuhi diriku selama beberapa minggu belakangan, sekarang menjadi tampak tegas dan jelas.

Hari berikutnya, aku pulang terlambat dan melihat istriku menulis sesuatu di meja makan. Aku tidak makan malam, tapi langsung tidur dan tertidur dengan cepat karena telah seharian bersama Jane.

Ketika aku terbangun, istriku masih disana, menulis. Aku tidak mempedulikannya dan langsung kembali tidur.

Paginya, dia menyerahkan syarat perceraiannya: Dia tidak menginginkan apapun dariku, hanya menginginkan perhatian selama sebulan sebelum perceraian. Dia meminta dalam 1 bulan itu kami berdua harus berusaha hidup sebiasa mungkin. Alasannya sederhana : Anak kami sedang menghadapi ujian dalam sebulan itu, dan dia tidak mau mengacaukan anak kami dengan perceraian kami.

Aku setuju saja dengan permintaannya. Namun dia meminta satu lagi, dia memintaku untuk meingat bagaimana menggendongnya ketika aku membawanya ke kamar pengantin, di hari pernikahan kami.

Dia memintanya selama 1 bulan setiap hari, aku menggendongnya keluar dari kamar kami, ke pintu depan setiap pagi. Aku pikir dia gila. Aku menerima permintaannya yang aneh karena hanya ingin membuat hari-hari terakhir kebersamaan kami lebih mudah diterima olehnya.

Aku memberi tahu Jane tentang syarat perceraian dari istriku. Dia tertawa keras dan berpikir bahwa hal itu berlebihan. “Trik apapun yang dia gunakan, dia harus tetap menghadapi perceraian!”, kata Jane, dengan nada menghina.

Istriku dan aku sudah lama tidak melakukan kontak fisik sejak keinginan untuk bercerai mulai terpikirkan olehku. Jadi, ketika aku menggendongnya di hari pertama, kami berdua tampak canggung. Anak kami tepuk tangan di belakang kami. Katanya, “Papa menggendong mama!” Kata-katanya membuat ku merasa terluka. Dari kamar ke ruang tamu, lalu ke pintu depan, aku berjalan sejauh 10 meter, dengan dirinya dipelukanku. Dia menutup mata dan berbisik padaku, “Jangan bilang anak kita mengenai perceraian ini.” Aku mengangguk, merasa sedih. Aku menurunkannya di depan pintu. Dia pergi untuk menunggu bus untuk bekerja. Aku sendiri naik mobil ke kantor.

Hari kedua, kami berdua lebih mudah bertindak. Dia bersandar di dadaku. Aku bisa mencium wangi dari pakaiannya. Aku tersadar, sudah lama aku tidak sungguh-sungguh memperhatikan wanita ini. Aku sadar dia sudah tidak muda lagi, ada garis halus di wajahnya, rambutnya memutih. Pernikahan kami telah membuatnya susah. Sesaat aku terheran, apa yang telah aku lakukan padanya.

Hari keempat, ketika aku menggendongnya, aku merasa rasa kedekatan seperti kembali lagi. Wanita ini adalah seorang yang telah memberikan 10 tahun kehidupannya padaku.

Hari kelima dan keenam, aku sadar rasa kedekatan kami semakin bertumbuh. Aku tidak mengatakan ini pada Jane. Seiring berjalannya waktu semakin mudah menggendongnya. Mungkin karena aku rajin berolahraga membuatku semakin kuat.

Satu pagi, istriku sedang memilih pakaian yang dia ingin kenakan. Dia mencoba beberpa pakaian tapi tidak menemukan yang pas. Kemudian dia menghela nafas, “Pakaianku semua jadi besar.” Tiba-tiba aku tersadar bahwa dia telah menjadi sangat kurus. Ini lah alasan aku bisa menggendongnya dengan mudah.

Tiba-tiba aku terpukul. Dia telah memendam rasa sakit dan kepahitan yang luar biasa di hatinya. Tanpa sadar aku menyentuh kepalanya.

Anak kami datang saat itu dan berkata, “Pa, sudah waktunya menggendong mama keluar.” Bagi anak kami, melihat ayahnya menggendong ibunya keluar telah menjadi arti penting dalam hidupnya. Istriku melambai pada anakku untuk mendekat dan memeluknya erat. Aku mengalihkan wajahku karena takut aku akan berubah pikiran pada saat terakhir. Kemudian aku menggendong istriku, jalan dari kamar, ke ruang tamu, ke pintu depan. Tangannya melingkar di leherku dengan lembut. Aku menggendongnya dengan erat, seperti ketika hari pernikahan kami.

Tapi berat badannya yang ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir, ketika aku menggendongnya, sulit sekali bagiku untuk bergerak. Anak kami telah pergi ke sekolah. Aku menggendongnya dengan erat dan berkata, “Aku tidak memperhatikan kalau selama ini kita kurang kedekatan.”

Aku pergi ke kantor, keluar cepat dari mobil tanpa mengunci pintunya. Aku takut, penundaan apapun akan mengubah pikiranku. Aku jalan keatas, Jane membuka pintu dan aku berkata padanya, “Maaf, Jane, aku tidak mau perceraian.”

Dia menatapku, dengan heran menyentuh keningku. “Kamu demam?”, tanyanya. Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku. “Maaf, Jane, aku bilang, aku tidak akan bercerai.” Kehidupan pernikahanku selama ini membosankan mungkin karena aku dan istriku tidak menilai segala detail kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai. Sekarang aku sadar, sejak aku menggendongnya ke rumahku di hari pernikahan kami, aku harus terus menggendongnya sampai maut memisahkan kami.

Jane seperti tiba-tiba tersadar. Dia menamparku keras kemudian membanting pintu dan lari sambil menangis. Aku turun dan pergi keluar.

Di toko bunga, ketika aku berkendara pulang, aku memesan satu buket bunga untuk istriku. Penjual menanyakan padaku apa yang ingin aku tulis di kartunya. Aku tersenyum dan menulis, aku akan menggendongmu setiap pagi sampai maut memisahkan kita.

Sore itu, aku sampai rumah, dengan bunga di tanganku, senyum di wajahku, aku berlari ke kamar atas, hanya untuk menemukan istriku terbaring di tempat tidur – meninggal. Istriku telah melawan kanker selama berbulan-bulan dan aku terlalu sibuk dengan Jane sampai tidak memperhatikannya. Dia tahu dia akan segera meninggal, dan dia ingin menyelamatku dari reaksi negatif apapun dari anak kami, seandainya kami jadi bercerai. — Setidaknya, di mata anak kami — aku adalah suami yang penyayang.

Hal-hal kecil di dalam kehidupanmu adalah yang paling penting dalam suatu hubungan. Bukan rumah besar, mobil, properti atau uang di bank. Semua ini menunjang kebahagian tapi tidak bisa memberikan kebahagian itu sendiri. Jadi, carilah waktu untuk menjadi teman bagi pasanganmu, dan lakukan hal-hal yang kecil bersama-sama untuk membangun kedekatan itu. Miliki pernikahan yang sungguh-sungguh dan bahagia.

Kalau kamu tidak share ini, tidak akan terjadi apa-apa padamu. Kalau share, mungkin kamu menyelamatkan satu pernikahan. Banyaknya kegagalan dalam kehidupan karena orang tidak sadar betapa dekat mereka dengan kesuksesan ketika mereka telah menyerah

Sumber: http://www.kabarmuslimah.com/kisah-cinta-suami-istri-yang-mengharukan/

Baca Selengkapnya

Kisah Loreng, Doa Terakhir Seorang Preman

Di sebuah kota besar yang padat penduduk, hiduplah seorang preman yang sudah berkali-kali melakukan perbuatan jahat dan keji. Loreng, begitu orang mengenalinya. Konon pria ini sudah sering keluar masuk penjara. Tubuhnya dempal dan berkulit hitam. Rambut keriting, agak gondrong dengan beberapa bekas luka mengerikan ada di wajah dan lengannya.

Ia sering memalak orang-orang yang dianggapnya lemah. Sehari ia bisa dapat Rp 200 ribu dan bila ia sedang merampok namun tak terciduk polisi, Loreng bisa memegang hingga dua juta di saku rompi kulitnya yang bau rokok. Ia akan tertawa girang setengah serak dengan komplotannya. Namun bila ia terciduk oleh polisi, maka ia harus bertahan di dalam penjara. Syukur bila ia disegani oleh penghuni selnya, namun bila ia menemukan lawan lebih kuat, kadang Loreng bisa babak belur di sana. Baru sebulan lalu Loreng bebas dari penjara, setelah untuk keenam kalinya ia masuk dalam bui.

Meski begitu, Loreng tidak kapok. Rokok masih menjadi kembang gulanya, bir masih menjadi air putihnya. Hidupnya masih bergantung pada jati dirinya sebagai preman. Kadang ia ingin insyaf dan menjadi tukang ojek atau buruh. Namun keinginan itu jatuh bangun hingga jatuh dan belum pernah bangun lagi. Dunia hitam masih begitu menggoda baginya.

Sebenarnya, Loreng punya anak dan istri. Namun ia tak ingin pulang kepada mereka karena pernah menelantarkannya sejak 15 tahun lalu saat anak mereka masih balita. Ia masih mencintai mabuk-mabukan dan judi, ia yakin tak akan mungkin diterima di rumahnya kembali. Kini Loreng bermukim di belakang pasar tradisional, dekat wilayah agak kumuh. Rumahnya hanya berupa susunan triplek dan kardus, lembab dan kotor. Tapi cukup untuknya sekedar tidur bila tidak sedang beraksi.

Loreng kini tak sekuat dahulu. Karena rokok dan bir sudah mulai membuatnya rapuh. Tidur di tempat yang lembab, dingin dan sering berpolusi membuatnya sering batuk parah. Tak ada yang merawatnya, makan pun mulai tak teratur. Karena tubuhnya mulai ringkih ia mulai gentar untuk terlalu sering melakukan pemalakan di terminal maupun pinggiran jalan.

Suatu ketika saat bangun tidur, entah mengapa ia begitu rindu dengan istri dan anaknya. Dengan tubuh yang agak demam dan sedikit uang sisa kemenangannya berjudi, hari ini ia hendak melihat tempat tinggalnya. Ia naik bus menuju ke kota di mana ia pernah tinggal dan merajut mimpi bersama istrinya. Sepanjang jalan, ia mengenang masa-masa indah berpacaran bersama istrinya. Hingga mereka menikah dan akhirnya PHK membuat Loreng putus asa dan menjadi seperti ini.

Saat tiba di depan gang tempat ia tinggal, ia merasa tempat ini tak berubah. Ia mencium aroma batu arang sisa orang berjualan sate dari warung sate di samping gang. Disambut ayam-ayam peliharaan pensiunan TNI yang sekarang pun masih duduk di depan rumahnya. Ia berjalan dan mencium harumnya aroma tradisional kampung halaman. Satu belokan lagi dan ia akan melihat rumahnya di ujung jalan.

Namun langkahnya terhenti sejenak. Ia melihat ada sebuah mobil mewah di depan rumah yang ia kenali sebagai rumahnya. Apakah rumahnya sudah ditempati orang lain? Loreng mendekati rumah tersebut perlahan-lahan dan mengintip dari balik semak dan pohon. Mobil mewah itu kini tepat di depannya dan ia melihat sepasang anak muda sedang bercengkrama dengan bahagia di depan serambi rumahnya.

Tak lama muncullah wajah yang ia kenali sebagai istrinya, namun alangkah kagetnya ia karena wanita itu menggandeng pria lain. Loreng mendengar mereka bercengkrama, ia kemudian menyadari bahwa pria itu adalah suami istrinya kini. Lalu kedua anak muda itu sepertinya adalah putra Loreng dan pacarnya. Tanpa sadar Loreng kadang ikut tersenyum melihat senyum mereka, namun kemudian ia sadar bahwa meski hanya beberapa meter, Loreng dan keluarganya sudah terpisah sekian jauh.. sekian lama.

Loreng tertunduk. Tentu saja sang istri sudah memilih pria lain untuk membahagiakannya. Dan sepertinya mereka sudah hidup lebih terjamin dan sejahtera, dengan uang yang lebih halal, bukan dengan uang hasil judi. Sambil sedikit terbatuk-batuk, Loreng membalikkan langkahnya. Tak ada yang tahu ia pernah kembali lagi ke rumah itu, namun pergi lagi dengan langkah gontai.

Matahari makin menyengat, ternyata sudah adzan Dzuhur. Loreng terlalu lelah untuk langsung kembali ke rumah kardusnya yang kotor. Ia pun memutuskan istirahat di masjid dekat gang rumahnya. Entah mengapa, ia pun rindu dengan rumah Allah ini. Dulu Loreng dan istrinya juga menikah di masjid ini, dengan berbagai mimpi dan senyum bahagia. Namun kini ia kembali, sebagai orang yang kotor dan bermandikan dosa.

Preman kuat yang tak lagi punya tempat pulang ketika ia menua dan sakit-sakitan itu tiba-tiba menitikkan air mata. Sambil terbatuk-batuk yang semakin parah, ia menuju tempat wudhu. Seorang bapak menghampirinya dengan sedikit cemas, "Sakit, Pak? Rumahnya di mana?"

Loreng hanya menggeleng dan mengambil wudhu. Ia ingin ikut sholat berjamaah bersama orang-orang. Ia mengambil shof terdepan dan mengikuti sholat dengan khusyu'. Sepanjang sholat ia menitikkan air mata dan sesekali batuk. Ia menyesali kehidupannya kini yang sendiri dan hampa, menyesali perbuatannya pada istri dan anaknya, serta menyesali hidupnya yang tanpa makna. Dalam untaian doa dia memohon ampun kepada Tuhan.

"Ya Allah, aku telah menghabiskan hidupku dengan berbuat jahat pada orang lain. Aku telah menelantarkan anak dan istriku. Perbuatanku tak dapat dimaafkan. Namun Engkau adalah Allah Yang Maha Mengampuni. Mohon ampuni dosaku dan lindungilah selalu keluargaku. Jangan biarkan anakku putus asa dalam kehidupannya dan menjadi sepertiku.Jadikanlah dia anak yang soleh dan menjaga ibu, istri dan anaknya. Mohon ampun, Ya Allah. Aaamiiin... Aaamiiin... Ya Robbal Alamin.."

Begitulah Loreng mengucap doa kemudian ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Selama beberapa detik ia batuk sekali dan mengerang dengan sedikit keras. Kemudian tubuhnya tersungkur di atas tempatnya berdoa. Beberapa orang yang masih berada di masjid terkejut dan akhirnya menghampiri pria tersebut.

Itulah doa terakhir Loreng sang preman kota besar. Di saat terakhirnya ia hanya ingin memohon ampun dan perlindungan untuk anak dan istrinya, karena ia tak pernah melakukannya selama ini. Loreng dikabarkan meninggal dengan senyuman sebelum ia masuk ke liang lahat.(gil/vemale.com/lentera/19741-doa-terakhir-seorang-preman.html)
Baca Selengkapnya